1. Pendahuluan
Struktur sistem tenaga listrik di berbagai belahan dunia sedang mengalami perubahan yang signifikan di era milenial ini. Walaupun di Indonesia belum terlalu tampak, bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun ke depan akan terasa perubahannya. Pernahkah pembaca sekalian bayangkan kalau suatu hari daerah/kampung tempat tinggal pembaca memiliki sumber energi listrik sendiri yang dikelola secara mandiri, menghasilkan energi listrik berlebih, dan kemudian menjualnya ke PLN? Kurang lebih seperti itulah struktur sistem tenaga listrik yang sedang emerging di berbagai negara. Struktur yang seperti menghasilkan klaster-klaster sistem tenaga kecil yang disebut sebagai microgrid. Berbeda dengan sistem tenaga konvensional yang berukuran raksasa dan dikelola secara terpusat oleh satu pengelola (di Indonesia, fungsi ini dijalankan oleh PLN), microgrid sifatnya terdistribusi dan bisa menjangkau daerah-daerah terpencil yang tidak terjamah grid utama.
Secara garis besar, terdapat perbedaan paradigma antara sistem tenaga berbasis pembangkit konvensional dengan sistem tenaga “terdistribusi” ini. Sistem tenaga konvensional dibangun berdasarkan lokasi sumber energi. Dimana sumber energi berada, di situlah pembangkit dibangun dan dari situlah kemudian dibangun saluran transmisi dan distribusi yang sangat panjang untuk menjangkau konsumen. Sayangnya, terkadang tidak semua konsumen bisa terjangkau oleh sistem ini, terutama konsumen di daerah terpencil dengan aksesibilitas terbatas. Hal inilah yang menjadi concern di sistem tenaga terdistribusi. Sistem tenaga terdistribusi dibangun berdasarkan lokasi beban/konsumen. Dimana konsumen berada, di situ atau di dekat situlah sistem tenaga dibangun. Karena kedekatan dengan konsumen ini, saluran transmisi dan distribusi praktis tidak diperlukan lagi.
Microgrid bukannya tanpa kelemahan/kekurangan. Namun demikian, pada kenyataannya utilisasi microgrid terus bertambah dengan pesat dan menjadi solusi yang efektif untuk mengatasi kekurangan energi listrik di berbagai wilayah. Salah satu faktor pendorongnya adalah biaya investasi pembangkit berbasis energi terbarukan yang semakin turun. Hal ini karena teknologi terkait, seperti teknologi panel surya dan turbin angin, yang telah memasuki fase mature sehingga dimungkinkan produksi masal dalam jumlah besar. Walaupun sumber energi di microgrid tidak harus berupa energi terbarukan, pertumbuhan utilisasi energi terbarukan yang sangat pesat [1] akan tetap menjadi driving-force utama pertumbuhan microgrid di tahun-tahun mendatang.
Contoh microgrid di dunia nyata ditunjukkan pada Gambar 1. Microgrid ini dibangun di area kampus University of California, San Diego dan ditenagai oleh tiga pembangkit, yakni solar panel, sel bahan bakar, dan combined heat and power (CHP). Selain itu, microgrid ini juga dilengkapi dengan beragam perangkat penyimpan energi, yang meliputi baterai, ultrakapasitor, dan perangkat berbasis termal. Proyek ini adalah contoh success story dalam implementasi microgrid, dibuktikan dengan banyaknya investasi yang datang untuk pengembangan lebih lanjut [2].
Gambar 1. Sebuah microgrid yang dibangun di area kampus University of California, San Diego [2]
2. Struktur Microgrid
Pada prinsipnya, struktur microgrid mirip dengan grid (sistem tenaga) utama/konvensional, hanya ukurannya yang jauh lebih kecil. Namun tidak semua sistem tenaga berskala kecil bisa disebut sebagai microgrid. Definisi formal microgrid yang dipopulerkan US Department of Energy berikut bisa menjadi acuan [3],
“A microgrid is a group of interconnected loads and distributed energy resources within clearly defined electrical boundaries that acts as a single controllable entity with respect to the grid. A microgrid can connect and disconnect from the grid to enable it to operate in both grid-connected or island-mode.”
Jadi, untuk bisa disebut microgrid, sebuah sistem tenaga berskala kecil harus memenuhi syarat-syarat berikut: (i) memiliki batas-batas yang jelas secara elektrik, (ii) mampu mengkonsolidasi pembangkitan terdistribusi (distributed generation atau disingkat DG), beban, dan penyimpan energi sebagai sebuah entitas tunggal, (iii) dapat beroperasi dalam mode islanding, yakni memiliki self-sufficiency untuk menyuplai beban-beban kritis ketika tidak terhubung ke grid utama, atau terhubung ke grid utama.
Dalam operasinya, sebuah microgrid bisa beroperasi secara mandiri (stand-alone microgrid) ataupun terhubung ke grid utama (grid-connected microgrid). Microgrid yang didesain untuk beroperasi secara mandiri lebih sederhana dalam perencanaannya, namun sangat rawan terhadap fluktuasi dengan kondisi alam apabila menggunakan sumber energi terbarukan dalam porsi yang besar. Karena itulah, operasi microgrid yang terhubung ke grid utama menjadi pilihan di banyak tempat. Gambar 2 menunjukkan struktur sebuah microgrid yang terhubung ke grid utama melalui sebuah titik koneksi yang disebut point of common coupling (PCC).
Gambar 2. Struktur microgrid terhubung ke grid utama (grid-connected micrgrid)
Komponen utama dalam sebuah microgrid adalah pembangkitan, yang di microgrid biasa disebut dengan pembangkitan terdistribusi (DG). Sumber energi DG bisa berupa sumber energi terbarukan maupun non-terbarukan. Yang menjadi catatan penting adalah walaupun porsi DG berbasis sumber energi terbarukan (seperti energi surya dan angin) terus meningkat, microgrid tidak mungkin mengandalkan energi terbarukan 100%. Hal ini karena sifat intermitensi yang sangat tinggi dari kedua energi tersebut, terlebih-lebih angin. Karenanya, pembangkitan berbasis sumber non-terbarukan (seperti unit diesel and turbin gas mikro) masih terus akan dipakai. Berbagai tipe pembangkit yang umumnya digunakan di microgrid ditunjukkan di Tabel 1.
Tabel 1. Tipe-tipe pembangkit yang digunakan di microgrid
Pembangkit | Prinsip Kerja |
Turbin angin (wind turbine) | Mengkonversi energi kinetik angin menjadi menjadi energi listrik melalui generator |
Panel surya (solar panel) | Mengkonversi energi cahaya matahari menjadi energi listrik. |
Turbin gas mikro (micro turbine) | Mengkonversi energi panas dari gas alam (atau bahan bakar lain) menjadi energi mekanik. Energi mekanik ini yang menjadi input bagi generator untuk menghasilkan energi listrik. |
Sel bahan bakar (fuel cell) | Mengkonversi energi kimia dari bahan bakar (biasanya hidrogen) dan agen oksidasi (biasanya oksigen) menjadi energi listrik melalui mekanisme reaksi redox. |
Mesin diesel (diesel engine) | Merupakan gabungan dari mesin diesel dan generator, bekerja untuk mengkonversi energi dari bahan bakar solar menjadi energi listrik. |
Kombinasi pembangkit panas dan daya (combined heat and power) | Merupakan skema pembangkitan untuk menghasilkan energi listrik dan energi termal (panas atau dingin) secara simultan. Pembangkitan secara simultan ini menghasilkan efisiensi yang lebih tinggi dibanding pembangkitan termal dan listrik secara terpisah. |
Turbin air (hydro) | Mengkonversi energi kinetik air yang mengalir dari ketinggian menjadi energi mekanik, yang selanjutnya menggerakkan generator untuk menghasilkan energi listrik. |
Komponen kedua dari sebuah microgrid adalah beban. Beban adalah alasan utama kenapa microgrid dibangun. Idealnya, microgrid harus mampu mensuplai beban kapan saja tanpa ada restriksi yang rumit. Namun karena keterbatasan sumber energi, beban perlu diatur sedemikian rupa agar keekonomisan operasi microgrid bisa dicapai. Pengaturan ini umumnya dilakukan dengan membagi beban berdasarkan beberapa kriteria, seperti tingkat kepentingannya, fleksibilitas, dan tingkat konsumsinya. Diagram di Gambar 3 menunjukkan pembagian ini. Dengan pembagian ini, perencana operasi microgrid dapat menjadwalkan suplai microgrid sesuai dengan beban yang tepat. Misalnya, ketika suplai daya dari DG benar-benar dalam kondisi yang rendah, beban critical sepeti rumah sakitharus mendapatkan prioritas terlebih dahulu dibanding beban yang lain.
Gambar 3. Pembagian beban di microgrid [4]
Komponen ketiga dari sebuah microgrid adalah media penyimpan energi (energy storage). Komponen ini merupakan pembeda microgrid dari grid konvensional. Pada umumnya, grid konvensional tidak memiliki penyimpan energi. Media penyimpan energi yang paling umum dipakai di microgrid adalah baterai, karena secara teknologi baterai-lah yang paling mapan teknologinya. Namun demikian, media penyimpan energi lain juga telah digunakan di microgrid. Secara garis besar, media penyimpan energi yang dipakai di microgrid dapat dibagi menjadi lima kategori, yaitu (i) penyimpan energi berbasis mekanik, (ii) penyimpan energi berbasi elektrokimia, (iii) penyimpan energi berbasis kimia, (iv) penyimpan energi berbasis elektrik, dan (v) penyimpan energi berbasis termal. Berbagai perangkat yang masuk dalam lima kategori ini ditunjukkan di Tabel 2. Masing-masing kategori penyimpan energi memiliki kelebihan dan kekurangan. Skema operasi terbaik adalah dengan menggunakan perangkat hibrid, yakni kombinasi dari beberapa perangkat. Dengan skema ini, kelebihan dari masing-masing kategori bisa dieksploitasi secara maksimal.
Tabel 2. Kategori perangkat penyimpan energi
Kategori | Contoh Perangkat |
Penyimpan energi berbasis mekanik | Flywheel, compressed-air, gravity |
Penyimpan energi berbasis elektrokimia | Baterai dengan beberapa tipenya: Li-Ion, PbA, NaS, NiCd/NiMH, NaNiCl2, redox
flow |
Penyimpan energi berbasis kimia | Hydrogen fuel cell |
Penyimpan energi berbasis elektrik | Ultrakapasitor, super magnetic |
Penyimpan energi berbasis termal | Low temperature, high temperature |
3. Keunggulan dan Kekurangan Microgrid
Sebagai sistem yang “non-konvensional”, tentu saja microgrid memiliki beberapa kekurangan, di samping kelebihan-kelebihan. Diantara kelebihan microgrid adalah sebagai berikut:
- Pada umumnya, unit pembangkit-nya dekat dengan konsumen
- Pemilihan lokasi microgrid yang tepat bahkan mampu mengurangi rugi-rugi daya secara signifikan
- Tidak memerlukan infrastruktur transmisi dan distribusi, penghematan biaya bisa mencapai 40% (menurut International Energy Agency)
- Karena berskala kecil, variasi sumber energi untuk microgrid lebih banyak dibanding grid konvensional
- Microgrid memiliki spektrum keandalan yang lebih luas dibanding grid konvensional
Adapun diantara kekurangan microgrid adalah sebagai berikut:
- Untuk microgrid yang pembangkitnya menggunakan bahan bakar fosil, terkadang pengangkutan bahan bakar ke lokasi pembangkit bukan pekerjaan yang mudah
- Memerlukan inpeksi rutin terhadap perangkat-perangkatnya
- Teknologi yang dipakai di microgrid belum terbukti kehandalannya untuk dipakai dalam jangka waktu yang sangat lama. Hal ini karena mayoritas microgrid yang ada saat ini usianya memang masih muda
4. Manajemen Microgrid
Untuk dapat beroperasi sesuai keinginan pemiliknya, microgrid memerlukan manajemen operasi yang rapi, sebagaimana sistem-sistem yang lain. Terdapat beberapa hal terkait yang perlu diperhatikan dalam manajemen operasi microgrid, namun pada prinsipnya terdapat dua aspek besar, yaitu aspek kendali dan aspek optimisasi. Aspek optimisasi dalam berbagai literatur sering disebut juga “manajemen energi”.
Tujuan dari aspek optimisasi adalah minimisasi atau maksimisasi kuantitas operasi tertentu, yang disebut sebagai fungsi objektif. Biasanya yang menjadi fungsi objektif adalah biaya operasi total microgrid. Biaya operasi ini mencakup biaya pemakaian energi dan biaya start-up unit-unit non-renewable, biaya degradasi perangkat penyimpan energi, biaya kompensasi rugi-rugi daya, dll. Untuk microgrid yang terhubung ke grid utama, komponen biaya mencakup juga biaya transaksi energi dengan grid utama. Fungsi objektif bisa juga berupa profit yang didapat dari menjual energi ke grid utama.
Adapun tujuan dari aspek kendali adalah untuk mempertahakan kuantitas-kuantitas operasi tertentu agar tidak keluar dari rentang yang telah ditetapkan. Kuantitas tersebut bisa berupa tegangan, frekuensi, daya aktif, dan daya reaktif. Kuantitas-kuantitas ini tidaklah dimaksimalkan/diminimalkan secara mutlak, tetapi diatur agar tidak lebih dari batas maksimal atau kurang dari batas minimal. Bergantung pada bagaimana microgrid dioperasikan, terdapat berbagai skema kendali yang bisa dipakai.
Referensi
[1] International Energy Agency, “Renewables 2019 – Analysis and forecast to 2024,” 2019.
[2] L. Margoni, “Microgrid: Keeping The Lights On,” Triton: A UC San Diego Alumni Publication. [Online]. Available: https://www.alumni.ucsd.edu/s/1170/emag/emag-interior-2-col.aspx?sid=1170&gid=1&pgid=4665. [Accessed: 26-Nov-2020].
[3] U.S. Department of Energy – Office of Electricity Delivery and Energy Reliability Smart Grid R&D Program, “DOE Microgrid Workshop Report,” 2011. [Online]. Available: http://energy.gov/sites/prod/files/Microgrid Workshop Report August 2011.pdf. [Accessed: 07-Feb-2020].
[4] M. A. Jirdehi, V. S. Tabar, S. Ghassemzadeh, and S. Tohidi, “Different aspects of microgrid management: A comprehensive review,” J. Energy Storage, vol. 30, p. 101457, 2020.
Info Penulis
Penulis adalah Dosen Teknik Elektro UII, saat ini sedang menempuh studi doktoral di King Abdulaziz University. Bidang penelitian yang sedang dikerjakannya adalah stochastic optimization of microgrid. Profil penulis bisa dilihat di https://sites.google.com/uii.ac.id/fnbudiman